Kabutmu telah menyelimutiku hingga dingin benar rasa tulang
Menyusu di putingmu –telaga panguripan- dan kau biarkan aku merangkak di badanmu
Kau ajarkan aku cara bicara, pelan-pelan kau tunjukan aku cara berjalan
Tamansari,cokro srengenge,hargo dumilah
Acapkali kau ajak aku belajar mengeja,
Mengeja daun jatuh dan bunga layu
Mengeja rerumputan yang lambainya tak ada lelah
Mengeja kawan dan sebuah kegembiraan
Dan mengeja kesendirianku dengan mu.
“Kau sudah dewasa.”katamu
Kakiku hendak diam melangkah, pastikan benar ungkapan tiba-tiba
“Diam dan temukan sendiri. Ada di balik daun, ada di balik punggung, ada di balik senyum adapula di dalam rasa di hatimu.”kau begitu tahu.
Perjalan ini bukan perjalanan biasa. Lawu. Telah member sebuah cerita tersendiri. Tidak terlupakan mungkin untukm beberapa tahun, beberapa abad, beberapa nyawa dan tak menyebalkan untuk menjadikannya cerita panjang.
Pendakian ke Empat yang pernah aku lakukan. Terasa benar hal yang beda dalam pendakian Lawu ini. Di gunung-gunung sebelumnya seakan-akan aku berkunjung kerumah pacar atau ke rumah temah sohib. Di lawu. Aku bagai berkunjung ke rumah ibu. Ibu alam. Yang begitu sabarnya menjaga anaknya ini yang begitu nakal.
Lawu. Bagai penyabar ia, seakan-akan aku dimomong olehnya. Pepohonan yang kadang terlewat dalam perjalanan seperti melambai dan membelai.”Hati-hati,Nak!”seakan-akan terdengar suara yang muncul dari dalam bawah tanah alas lawu.
“Perjalanan dan perjumpaanku dengan Lawu bukanlah kebetulan. Jika pun itu kebetulan maka itu kebetulan yang bertakdir. Bagai kisah ovum yang menemukan rahimnya.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar